Minggu, 07 Agustus 2011

Bagian penting tubuhmu


Ibuku selalu bertanya padaku, apa bagian tubuh yang paling penting.
Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar.
Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita
sebagai manusia, jadi aku jawab, "Telinga, Bu." Tapi, ternyata itu bukan
jawabannya.

"Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi, teruslah memikirkannya
dan aku menanyakan lagi nanti."

Beberapa tahun kemudian, aku mencoba menjawab, sebelum dia bertanya
padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini
pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya. "Bu, penglihatan
sangat penting bagi semua orang, jadi pastilah mata kita."

Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu
masih salah karena banyak orang yang buta."

Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun
ke tahun, Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia
selalu, "Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku."


Kalung mutiara Annisa



Ini cerita tentang Anisa, gadis kecil ceria berusia lima tahun. Suatu
sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika
menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil
putih berkilauan, tergantung dalam kotak berwarna pink yang sangat
cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehinggak Anisa sangat ingin
memilikinya.

Tapi, dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya,
sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta
apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah
menyetujui untuk embelikannya kaos kaki berenda yang cantik.

Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya, "Ibu,
bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang
tadi..." Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa.
Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang
memandangnya dengan penuh harap dan cemas.

Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya

Oleh : W.S. Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972